ISLAM, KabarDuri –Takut kepada Allah SWT adalah rasa yang pantas dimiliki oleh seorang Muslim.
Bahkan ketika seseorang menangis kepada Allah SWT karena takut menerima hukuman atas segala dosa yang dilakukan, adalah bentuk keimanan kepadanya, bawasanya Allah SWT adalah yang maha besar, sebagai penguasa langit dan bumi.
Rasulullah SAW pernah bersabda, mata yang tidak akan terkena api neraka adalah yang menangis karena takut kepada Allah SWT.
“Dua mata yang tidak akan tersentuh oleh api neraka yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang bermalam (begadang) untuk berjaga-jaga (dari serangan musuh) ketika berperang di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi).
Hadits ini shohih ligoirihi, yakni shohih dilihat dari jalan lainnya- , sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1229.
Menurut Ustadz Khalid Basalamah melansir dalam Channel YouTube Islam Terkini, menyebut kalau mata pertama yang dipastikan tidak akan disentuh api neraka, adalah mata yang menangis karena taku kepada Allah SWT.
Dari hadits tersebut memberikan pelajaran, bahwa pentingnya menangis karena Allah SWT.
Dalam konteks ini, maksud menangis maksudnya ketika hati seseorang tersentuh, menyebut nama Sang Pencipta atau mengenang segala nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.
“Bisa juga menangis karena mengingat dosa-dosa yang terlalu banyak dan khawatir kalau sampai Allah SWT menghukumnya,” kata Ustadz Khalid Basalamah.
Hal ini juga termasuk dalam keimanan dan perintah dalam agama Islam, kalau hati seseorang belum tersentuh, dan matanya belum menangis karena Allah SWT, maka dirinya harus instrospeksi diri.
“Allah SWT sudah memberikan kita peluang untuk menangis dengan mengingat nikmat Allah SWT atau khawatir dengan dosa yang dikerjakan,” jelasnya.
Orang yang menangis karena Allah SWT ada konsekuensinya yakni dia tidak akan kembali kepada dosa-dosanya.
Rasulullah SAW mengatakan bahwa orang yang menangis karena Allah SWT termasuk kepada tujuh golongan yang dinaungi pada hari kiamat, seperti dalam hadits riwayat Baihaqi, dalam Syu’abul Iman.
Sumber Suara.com