KabarDuri.net — Dalam pemikiran awam, politik itu kejam, kotor, dan tempat berkumpulnya para politisi di partai politik. Politik juga dapat bermakna suatu seni dan ilmu warga negara untuk mewujudkan tujuan tertentu, semua proses kegiatan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik, serta pengetahuan tentang tatanan pemerintahan, kebijakan ketatanegaraan, perbuatan atau tindakan terkait kebijakan pemerintah.
Memahami dan mengambil makna tersebut, maka pemahamannya tergantung dari individu politisi itu sendiri, apakah akan diterapkan ke arah yang baik atau sebaliknya.
Saat ini dunia politik banyak “dikuasai” oleh kaum Adam, baik sebagai ketua partai politik maupun yang duduk di legislatif. Kaum lelaki seolah superior di dunia politik meski hal itu sebenarnya tidak seratus persen benar. Bagaimana peluang kaum wanita di kancah politik?
Angin segar yang mungkin bisa dijadikan penyemangat bagi kaum Hawa untuk terjun di dunia politik adalah tatkala Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai ketua umum PDI Perjuangan dalam waktu sekian lama, Puan Maharani yang duduk sebagai Ketua DPR RI, ataupun Khofifah Indraparawansa yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur. Bahkan di Provinsi Riau, kini ada bupati perempuan pertama di daerah ini. Dialah Kasmarni yang saat ini menjabat sebagai Bupati Bengkalis.
Secara demografi, jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Namun sayangnya, peranya dalam politik dan menduduki posisi penting masih sangat minim. Hal ini, terbukti dari data pemilihan umum di Provinsi Riau, keterwakilan perempuan di setiap kabupaten dan kota pada tahun 2014 hanya 16 persen saja, pada 2019 naik menjadi 20 persen.
Pada tahun 2014 tertinggi di DPRD Provinsi Riau yang terdapat anggota dewan perempuan sebanyak 18 orang atau 28 persen, menyusul Kepulauan Meranti dan Kota Dumai 17 persen, Kampar dan Pekanbaru Kota 16 persen, Rokan Hulu 13 persen. Daerah selebihnya berkisar 5-9 persen saja.
Pemandangan serupa tidak jauh berbeda pada 2019, keterwakilan perempuan di DPRD Riau jauh merosot yakni hanya 18 persen atau 12 orang, begitu juga kabupaten/kota di daerah ini.
Dari sekian banyak alasan kenapa keterlibatan kaum wanita pada politik minim, salah satunya, adalah perempuan kebanyakan hanya memerankan perilaku politik semisal cuma di saat pemilihan wakil rakyat. Jarang sekali yang menjadi insan politik mengikuti partai politik dan organisasi lainnya secara aktif.
Para perempuan sebenarnya mempunyai kesempatan dan hak yang sama untuk mengkritik para pelaku politik yang bertentangan dengan kepentingan orang banyak, berhak menjadi pimpinan politik, berhak melaksanakan perilaku politik sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Seharusnya untuk mengetahui bagaimana sebuah kebijakan pemerintah dan tata pemerintah serta sistem dan proses pemerintahan berjalan dengan baik terhadap kebijakan publik, maka perlu keterlibatan perempuan langsung di dalamnya. Jika tidak, perempuan hanya menjadi sebagai objek politik belaka.
Untuk mampu masuk ke kancah politik, modal utama seorang wanita adalah keberanian, kepercayaan diri yang kuat serta pengalaman yang luas. Dan ini masih jarang dimiliki. Jika tidak mau peduli atau tidak pernah mau tahu apa saja yang dibuat dalam merumuskan kebijakan untuk kepentingan masyarakat, maka tidak akan pernah ada kesempatan bagi kaum perempuan menyampaikan aspirasi. Bisa jadi selamanya perempuan tertinggal atau terbelakang, terus terbelenggu, tertindas dalam berbagai bidang.
Undang-Undang Pemilu Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD serta Undang-Undang nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik telah mengamanatkan, harus adanya keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen pada kepengurusan parpol atau pada pendaftaran calon legislator. Hal itu dengan harapan agar ada suara perempuan yang dapat mewakili kepentingan kaum perempuan itu dalam memenuhi kebutuhan pembangunan yang menjadi bagian dari kebijakan.
Dari isi undang-Undang itu, jelas-jelas telah memberi kesempatan dan peluang besar bagi kaum perempuan untuk berperan aktif di dunia politik. Tidak hanya pasrah dan berpangku tangan di bawah ketiak laki-laki. Kalau tidak mau terlibat, tidak mau tahu dan tidak mau peduli, lalu siapa yang akan menyuarakan kepentingan perempuan dalam pembangunan? Kaum perempuan lah yang harus berjuang.
Hanya saja, selaku perempuan yang memiliki peran ganda, dan tidak lupa dengan kodratnya sebagai ibu dan istri, tidak sedikit kekhawatiran kaum laki-laki terhadap perempuan yang telah mendapatkan kesempatan berkarya dan berkarir di dunia politik.
Jangan sampai politisi wanita tidak lagi menjalankan peran sesuai kodratnya, bahkan condong meremehkan suaminya, terlebih lagi sudah mendapatkan jabatan serta penghasilan yang lebih besar dari pasangannya hingga akhirnya berujung pada keretakan rumah tangga.
Sudah saatnya perempuan tampil maksimal di dunia politik, namun harus tetap imbang saat menjalankannya baik di legislatif, pemerintahan maupun rumah tangga. Sudah saatnya ada jargon baru, “Di balik istri yang sukses, ada lelaki yang hebat,”
Sumber Antara Riau